Pada suatu fase dalam hidup, manusia mulai menyadari bahwa tidak semua kebaikan lahir dari ruang yang kosong dari kepentingan. Ada kebaikan yang tumbuh dari keikhlasan, ada pula yang lahir dari kebutuhan untuk bertahan, untuk dianggap, untuk diakui. Dan pada titik tertentu, seseorang akan berhadapan dengan pertanyaan yang paling sunyi: apakah aku baik karena aku tulus, atau karena aku sedang membutuhkan sesuatu?
Kesadaran itu tidak datang sebagai tuduhan, melainkan sebagai undangan untuk menengok ke dalam diri. Sebab kepentingan bukanlah kejahatan; ia adalah bagian dari kodrat manusia yang hidup dalam relasi, kebutuhan, dan ketergantungan. Yang menjadi persoalan bukanlah adanya kepentingan, melainkan ketika kepentingan itu menyamar sebagai ketulusan, ketika kebaikan kehilangan kejujurannya.
Di situlah integritas diuji. Bukan pada saat seseorang mampu berbuat baik ketika diuntungkan, melainkan ketika ia mampu tetap bersikap lurus tanpa harus mengamankan hasil lebih dulu. Kebaikan yang konsisten, meskipun sunyi dan tak selalu berbuah segera, justru di sanalah martabat moral manusia berdiri: pada kemampuannya untuk tidak menjadikan orang lain sebagai alat, bahkan ketika ia sedang membutuhkan pertolongan.
Refleksi ini menuntun pada kesimpulan sederhana namun menuntut: lebih baik menjadi manusia yang baik secara stabil, daripada menjadi manusia yang baik secara situasional. Sebab kebaikan yang terlalu bergantung pada kepentingan akan selalu rentan dibaca sebagai strategi, sementara kebaikan yang hadir dalam keseharian—tanpa panggung dan tanpa motif tersembunyi—akan tumbuh sebagai kepercayaan.
Dan mungkin, inilah kerja batin yang sesungguhnya: belajar mengakui bahwa “aku juga memiliki mau”, tanpa harus menjadikan “mau” itu sebagai alasan untuk mengatur kebaikan. Belajar meminta dengan jujur, memberi dengan tenang, dan menerima dengan lapang tanpa dekorasi berlebihan, tanpa sandiwara moral.
Pada akhirnya, manusia tidak dituntut untuk menjadi suci dari kepentingan, melainkan untuk jujur terhadapnya. Sebab dalam kejujuran itulah kebaikan kembali menemukan wajahnya yang paling manusiawi: tidak sempurna, tidak selalu menguntungkan, tetapi dapat dipercaya.